OGAN ILIR — Pasca empat bulan dibalut ketidakpastian, kabar mengenai sidang dugaan pelanggaran etik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ogan Ilir di DKPP akhirnya terjawab.
Sidang yang amat dinantikan oleh publik terkait laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ogan Ilir kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini dikabarkan akan digelar pada November mendatang, meskipun tanggal pastinya belum ditetapkan.
Laporan yang diajukan Bawaslu pada 4 Juni 2024 lalu ini berfokus pada dugaan afiliasi politik dalam proses rekrutmen Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Bukan main temuan tersebut terkait adanya 51 penyelenggara yang terdaftar di Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL)– sebuah indikasi dugaan afiliasi politik.
Tak ayal, tuduhan ini jelas menodai prinsip dasar netralitas yang harus dipegang teguh oleh penyelenggara pemilu.
Dan ini bukan sekadar masalah teknis, tapi ini soal kepercayaan publik. Bagaimana bisa menyelenggarakan pemilu yang adil, jika para penyelenggaranya diduga terlibat dalam politik praktis?
Namun, setelah berbulan-bulan publik menunggu, kepastian pun baru muncul belakangan ini.
Menurut informasi yang dihimpun sumber berita Tribune.umbara.com, bahwa sidang akan digelar pada November 2024.
Kendati begitu, untuk tanggal pastinya masih belum jelas. Spekulasi pun terus bermunculan dan semakin liar. Akankah lima komisioner KPU Ogan Ilir diberhentikan secara tidak hormat? Atau sanksi yang lebih ringan akan diberikan? Atau malahan tidak terbukti melakukan pelanggaran? Semuanya terpulang pada DKPP.
Nama-nama seperti Masjidah, Ketua KPU Ogan Ilir, beserta empat anggotanya—Rusdi Daduk, Arbain, Robi, dan Yahya— kini berada di ujung persidangan.
Bagi mereka, keputusan DKPP ini menjadi penentu nasib: Apakah mereka akan terus menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu, atau harus lengser dengan beban pelanggaran etik yang berat?
Isu ini sangat sensitif, terutama di masa Pilkada 2024. Bawaslu menyuarakan keprihatinan mendalam atas dugaan pelanggaran ini, yang dianggap bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Masyarakat Ogan Ilir kini menaruh harapan besar pada sidang DKPP, sambil terus memantau perkembangan yang ada.
Belum selesai isu panas ini, muncul pula dugaan baru terkait penerimaan suap oleh oknum komisioner KPU Ogan Ilir berinisial MJ.
Mantan anggota DPRD Ogan Komering Ilir (OKI), M. Akbar, dikabarkan bakal juga melaporkan dugaan aliran uang Rp150 juta kepada MJ dan Rp330 juta kepada seorang anggota PPK Tanjung Raja berinisial RS. Tuduhan ini tentu semakin memperkeruh suasana.
MJ, dalam pernyataannya, membantah keras tuduhan tersebut. “Ini fitnah keji,” tegasnya.
Jika sidang DKPP memutuskan pemberhentian lima komisioner secara tidak hormat, babak baru akan dimulai dengan proses Pengganti Antar Waktu (PAW).
Sejumlah nama mulai mencuat sebagai calon pengganti, termasuk DR. Istifadah Rasyad, seorang tokoh pendidikan, Medi Irawan, mantan anggota Bawaslu Ogan Ilir, serta Uswatun Hasanah, perawat honorer yang kini menjabat sebagai anggota Panwascam.
Bagi banyak pihak, ini bukan sekadar sidang etik biasa. Keputusan DKPP ini menjadi pertaruhan besar bagi masa depan demokrasi di Ogan Ilir.
Kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu tengah diuji. Apakah DKPP mampu memberikan putusan yang tidak hanya menegakkan keadilan, tetapi juga menjaga integritas penyelenggaraan pemilu di daerah tersebut?
November menjadi penentu, masyarakat Ogan Ilir hanya bisa berharap bahwa pilar-pilar demokrasi tetap berdiri kokoh, tidak goyah oleh kepentingan politik dan pelanggaran etik.
Sementara itu, RS (anggota PPK) dari Tanjung Raja saat dikonfirmasi via chat aplikasi whatsapp nya menyatakan, mohon maaf bukan kapasitas ku menjawab terkait berita-berita seperti itu. Dan boleh-boleh saja, tapi jangan saat ini. Saya lagi acara keluarga dalam beberapa hari ini. Nanti ber kabaran lagi saja, tulisnya.
Dihubungi terpisah, MJ Ketua KPU Ogan Ilir masih enggan merespon atau memberikan jawabannya hingga berita ini ditayangkan. Tim Rd